Jamilatul Afiah
2227130758
PGSD 3 D/02
FKIP
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pragmatisme Dalam Perjalanan Mencari Jati Diri
Aliran filsafat pendidikan pragmatisme
memiliki konsep bahwa manusia mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi
yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan
potensi yang bersifat kreatif dan dinamis, manusia mempunyai bekal untuk
menghadapi dan memecahkan problema-problemanya. Pendidikan sebagai tempat yang
paling efektif dalam melaksanakan proses. pendidikan tentulah berorientasi kepada
sifat dan hakikat manusia sebagai manusia yang berkembang. Usaha-usaha yang
dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan
motivasi-motivasi sehingga akal dan kecerdasan manusia dapat difungsikan dan
berkembang dengan baik. Dalam hal ini, aliran pendidikan pragmatisme ingin
membentuk manusia yang dihasilkan dari pendidikan sekolah yang memiliki
keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.
Pragmatisme
dipandang sebagai filsafat Amerika asli sekitar abad 19 hingga awal 20. Namun
sebenarnya berpangkal pada filsafat empiris inggris, yang berpendapat bahwa
manusia mengetahui apa yang manusia alami, suatu teori dikatakan benar jika
berfungsi praktis bagi kehidupan manusia. Aliran ini melahirkan beberapa nama
yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James
(1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama
George Herbert Mead (1863-1931).
William
James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana
yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan
ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau
tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita
tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga
menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan
apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah
yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah
konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai
akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sebagian
penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan
dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni
jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat
(berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran,
karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu
(Kattsoff, 1992:130).
Segala
sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup
manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau
hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan
adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang
adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
Maksudnya adalah manusia dapat
mengetahui sesuatu hal dengan apa yang mereka alami melalui sebuah pengalaman.
Dan pastinya pengalaman serta perjalanan hidup manusia sudah ditakdirkan
berbeda walaupun sebagian kecil ada yang sama tetapi tidak begitu sama persis.
Dengan begitu, melalui pengalaman manusia dapat mengetahui apa yang pernah
terjadi dan apa yang pernah dilakukan. Bahkan ada peribahasa yang mengatakan
bahwa “Eksperience Is The Best Teacher” yang artinya pengalaman adalah
guru terbaik. Dengan pengalaman, kita dapat mengetahui sesuatu yang tadinya
kita tidak mengetahui menjadi tahu dengan fakta atau nyata, karena fakta adalah
hal yang sudah benar-benat terjadi dan terbukti.
Mungkin kita sudah tahu bahwa tidak
hanya pengalaman saja, bahkan semua perilaku yang telah dilakukan akan
mengakibatkan dan memiliki dampak negatif dan positif, mungkin kekecewaan,
penyesalan, rasa senang, terharu, dan sebagainya.
Pada zaman sekarang dapat dilihat dari
sikap dan perilaku remaja saat ini. Tidak dapat dipungkiri perilaku dan sikap
tersebut akibat dari perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah
berkembang sangat pesat, lingkungan, teman sebaya atau teman bermainpun sangat
mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak atau remaja.
Saat ini banyak sekali perilaku yang
sebenarnya tidak layak dilakukan oleh para remaja yang usianya masih dibangku sekolah.
Akibat dari pergaulan, mereka rela melakukan apa saja asalkan bisa membuat
mereka senang. Pada masa ini dapat dikatakan masa-masa ingin tahu. Berawal dari
penasaran akhirnya bisa saja mereka mencari tahu dan melakukannya sehingga
dampak dan akibatnya meraka harus menanggung sendiri.
Saat ini banyak sekali
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja. Misalnya menggunakan
narkoba, tawuran, seks bebas, dan sebagainya. Bahkan berdasarkan bahan bacaan
yang telah saya baca terkutip bahwa “apabila tidak melakukan hal tersebut Tidak
Gaul”. Bagi anak atau remaja yang terkumpul dalam satu komunitas tersebut
jika kurang pengawasan orang tua, guru, keluarga terdekat atau teman sebaya
yang mengerti akan bahayanya perilaku tersebut bagi dirinya, maka ia akan terpancing
dalam ucapan tersebut. Bukan itu saja yang menjadi bahan pembicaraan saat ini,
dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat banyak sekali contoh atau
fakta yang terjadi, misalnya tidak hanya remaja bahkan anak yang berusia
sekolah pun dapat dengan mudah meniru gaya berpakaian ataupun gaya berbicara
orang yang ia kagumi. Lebih-lebih yang mereka kagumi itu membawa dampak positif
nantinya yang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan pembelajaran dari keluarga
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Yang menjadi bahan pembicaraan
adalah apabila dari hal tersebut berdampak negatif. Misalnya, Pertama; dalam
berpakaian tidak sesuai dengan yang seharusnya (dalam agama islam berpakaian
harus tertutup, tidak transparan, dan tidak membentuk anggota tubuh). Kedua;
berbicara, remaja atau anak yang berusia sekolah sangat dengan mudah mengikuti
perkembangan zaman, anak dapat dengan mudah menyerap apa yang ia lihat dan apa
yang ia dengar. Misalnya anak mendengar satu kata yang baru ia dengar dan
penasaran dengan apa makna kata tersebut, karena ia pikir tidak mau
“ketinggalan zaman” maka ia mencari tahu dan menggunakan kata tersebut.
Perilaku tersebut sangat ber- pengaruh
terhadap sikap atau moral, dan nilai, yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini,
yang paling berperan demi kebaikan anak tersebut adalah orang tua dengan cara
memperbaiki sikap, memberi contoh yang selayaknya, memberikan motivasi- motivasi
yang membuatnya sadar akan kebaikan untuk dirinya, dan apabila tetap saja tidak
bisa diperbaiki sikapnya kita bisa menunjukan dan memberi contoh seseorang yang
telah rusak akibat perilaku yang tidak baik tersebut.
Semua orang pasti tidak akan ada yang
ingin merusak dirinya apalagi secara disengaja, kecuali adanya hal yang membuat
dirinya merasa terpaksa melakukan hal yang negatif tersebut. Tetapi semua itu bisa dikendalikan
melalui keyakinan serta iman kita bahwa bukan hal yang negatif yang bisa
membuat dirinya merasa nyaman. Dan apabila ingin memperbaiki diri bisa dirubah
melalui teman serta lingkungan yang baik.
Lingkungan dan pendidikan sangat mempengaruhi
terhadap perkembangan serta sikap anak. Apabila lingkungan baik maka sikap dan
perilaku anak tersebut secara spontan akan mengikuti teman sebayanya melalui
kegiatan yang positif, apalagi seorang anak yang masih dalam usia dini atau
usia sekolah yang mendapat pendidikan yang baik dan mendapat pengalaman atau
kegiatan yang baik karena dalam perkembangannya mereka masih mengikut- ikuti
teman sebayanya. Dengan begitu dapat dengan mudah jika kita menanamkan sikap
dan perilaku yang positif pada masa ini.
Maka sebaiknya yang digunakan dalam pendidikan demi
tercapainya lulusan yang baik dan anak memiliki kepribadian atau jati diri yang
baik maka dengan metode disiplin, dengan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat
dijadikan metode pendidikan karena merupaka suatu kekuatan yang datang dari
luar, dan didasari oleh suatu asumsi bahwa ada tujuan yang baik dan benar
secara objektif, dan si anak dipaksa untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuasaan
tidak sesuai dengan kemauan dan minat anak, serta gurulah yang menentukan
segala- galanya. Guru memaksakan bahan pelajaran kepada anak, dan guru pulalah
yang berpikir untuk anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak memiliki
perhatian yang spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari dalam
diri anak sendiri. Anak akan belajar apabila ia memiliki minat dari antisipasi
terhadap suatu masalah untuk dipelajari. Anak tidak akan memiliki dorongan
untuk belajar matematika seandainya ia tidak merasakan suatu masalah dimana ia
tidak mengetahiunya. Disiplin itu memang muncul dari dalam diri anak, namun
dituntut suatu aktivitas dari anak yang lainnya, dalam usaha mencapai tujuan
bersama. Dalam usaha belajar tersebut dibutuhkan suatu kerja sama dengan yang
lainnya. Anak dalam kelas harus merupakan suatu kelompok yang merasakan bersama
terhadap suatu masalah, dan mereka secara bersama bekjerja secara sama-sama
dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.
Dan dengan lingkungan yang baik, tidak
menutup kemungkinan bahwa sikap anak tidak akan jauh dengan sikap yang berada
disekitarnya.
Allahu
a’lam.
Referensi
http://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/penerapan-filsafat-pragmatisme-dalam-pembelajaran-2/
Salahuddin,
Anas. 2011. Filsafat Pendidikan.Bandung;
Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar