Selasa, 18 November 2014

Pragmatisme Dalam Perjalanan Mencari Jati Diri



Jamilatul Afiah
2227130758
PGSD 3 D/02
FKIP
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa


Pragmatisme Dalam Perjalanan Mencari Jati Diri

Aliran filsafat pendidikan pragmatisme memiliki konsep bahwa manusia mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan potensi yang bersifat kreatif dan dinamis, manusia mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya. Pendidikan sebagai tempat yang paling efektif dalam melaksanakan proses. pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat manusia sebagai manusia yang berkembang. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi sehingga akal dan kecerdasan manusia dapat difungsikan dan berkembang dengan baik. Dalam hal ini, aliran pendidikan pragmatisme ingin membentuk manusia yang dihasilkan dari pendidikan sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.


Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli sekitar abad 19 hingga awal 20. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empiris inggris, yang berpendapat bahwa manusia mengetahui apa yang manusia alami, suatu teori dikatakan benar jika berfungsi praktis bagi kehidupan manusia. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931).
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130).
Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
Maksudnya adalah manusia dapat mengetahui sesuatu hal dengan apa yang mereka alami melalui sebuah pengalaman. Dan pastinya pengalaman serta perjalanan hidup manusia sudah ditakdirkan berbeda walaupun sebagian kecil ada yang sama tetapi tidak begitu sama persis. Dengan begitu, melalui pengalaman manusia dapat mengetahui apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah dilakukan. Bahkan ada peribahasa yang mengatakan bahwa “Eksperience Is The Best Teacher” yang artinya pengalaman adalah guru terbaik. Dengan pengalaman, kita dapat mengetahui sesuatu yang tadinya kita tidak mengetahui menjadi tahu dengan fakta atau nyata, karena fakta adalah hal yang sudah benar-benat terjadi dan terbukti.
Mungkin kita sudah tahu bahwa tidak hanya pengalaman saja, bahkan semua perilaku yang telah dilakukan akan mengakibatkan dan memiliki dampak negatif dan positif, mungkin kekecewaan, penyesalan, rasa senang, terharu, dan sebagainya.
Pada zaman sekarang dapat dilihat dari sikap dan perilaku remaja saat ini. Tidak dapat dipungkiri perilaku dan sikap tersebut akibat dari perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah berkembang sangat pesat, lingkungan, teman sebaya atau teman bermainpun sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak atau remaja.
Saat ini banyak sekali perilaku yang sebenarnya tidak layak dilakukan oleh para remaja yang usianya masih dibangku sekolah. Akibat dari pergaulan, mereka rela melakukan apa saja asalkan bisa membuat mereka senang. Pada masa ini dapat dikatakan masa-masa ingin tahu. Berawal dari penasaran akhirnya bisa saja mereka mencari tahu dan melakukannya sehingga dampak dan akibatnya meraka harus menanggung sendiri.
Saat ini banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja. Misalnya menggunakan narkoba, tawuran, seks bebas, dan sebagainya. Bahkan berdasarkan bahan bacaan yang telah saya baca terkutip bahwa “apabila tidak melakukan hal tersebut Tidak Gaul”. Bagi anak atau remaja yang terkumpul dalam satu komunitas tersebut jika kurang pengawasan orang tua, guru, keluarga terdekat atau teman sebaya yang mengerti akan bahayanya perilaku tersebut bagi dirinya, maka ia akan terpancing dalam ucapan tersebut. Bukan itu saja yang menjadi bahan pembicaraan saat ini, dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat banyak sekali contoh atau fakta yang terjadi, misalnya tidak hanya remaja bahkan anak yang berusia sekolah pun dapat dengan mudah meniru gaya berpakaian ataupun gaya berbicara orang yang ia kagumi. Lebih-lebih yang mereka kagumi itu membawa dampak positif nantinya yang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan pembelajaran dari keluarga sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Yang menjadi bahan pembicaraan adalah apabila dari hal tersebut berdampak negatif. Misalnya, Pertama; dalam berpakaian tidak sesuai dengan yang seharusnya (dalam agama islam berpakaian harus tertutup, tidak transparan, dan tidak membentuk anggota tubuh). Kedua; berbicara, remaja atau anak yang berusia sekolah sangat dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, anak dapat dengan mudah menyerap apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Misalnya anak mendengar satu kata yang baru ia dengar dan penasaran dengan apa makna kata tersebut, karena ia pikir tidak mau “ketinggalan zaman” maka ia mencari tahu dan menggunakan kata tersebut.  
Perilaku tersebut sangat ber- pengaruh terhadap sikap atau moral, dan nilai, yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini, yang paling berperan demi kebaikan anak tersebut adalah orang tua dengan cara memperbaiki sikap, memberi contoh yang selayaknya, memberikan motivasi- motivasi yang membuatnya sadar akan kebaikan untuk dirinya, dan apabila tetap saja tidak bisa diperbaiki sikapnya kita bisa menunjukan dan memberi contoh seseorang yang telah rusak akibat perilaku yang tidak baik tersebut.
Semua orang pasti tidak akan ada yang ingin merusak dirinya apalagi secara disengaja, kecuali adanya hal yang membuat dirinya merasa terpaksa melakukan hal yang negatif  tersebut. Tetapi semua itu bisa dikendalikan melalui keyakinan serta iman kita bahwa bukan hal yang negatif yang bisa membuat dirinya merasa nyaman. Dan apabila ingin memperbaiki diri bisa dirubah melalui teman serta lingkungan yang baik.
Lingkungan dan pendidikan sangat mempengaruhi terhadap perkembangan serta sikap anak. Apabila lingkungan baik maka sikap dan perilaku anak tersebut secara spontan akan mengikuti teman sebayanya melalui kegiatan yang positif, apalagi seorang anak yang masih dalam usia dini atau usia sekolah yang mendapat pendidikan yang baik dan mendapat pengalaman atau kegiatan yang baik karena dalam perkembangannya mereka masih mengikut- ikuti teman sebayanya. Dengan begitu dapat dengan mudah jika kita menanamkan sikap dan perilaku yang positif pada masa ini.
Maka sebaiknya yang digunakan dalam pendidikan demi tercapainya lulusan yang baik dan anak memiliki kepribadian atau jati diri yang baik maka dengan metode disiplin, dengan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode pendidikan karena merupaka suatu kekuatan yang datang dari luar, dan didasari oleh suatu asumsi bahwa ada tujuan yang baik dan benar secara objektif, dan si anak dipaksa untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan kemauan dan minat anak, serta gurulah yang menentukan segala- galanya. Guru memaksakan bahan pelajaran kepada anak, dan guru pulalah yang berpikir untuk anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak memiliki perhatian yang spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari dalam diri anak sendiri. Anak akan belajar apabila ia memiliki minat dari antisipasi terhadap suatu masalah untuk dipelajari. Anak tidak akan memiliki dorongan untuk belajar matematika seandainya ia tidak merasakan suatu masalah dimana ia tidak mengetahiunya. Disiplin itu memang muncul dari dalam diri anak, namun dituntut suatu aktivitas dari anak yang lainnya, dalam usaha mencapai tujuan bersama. Dalam usaha belajar tersebut dibutuhkan suatu kerja sama dengan yang lainnya. Anak dalam kelas harus merupakan suatu kelompok yang merasakan bersama terhadap suatu masalah, dan mereka secara bersama bekjerja secara sama-sama dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.
Dan dengan lingkungan yang baik, tidak menutup kemungkinan bahwa sikap anak tidak akan jauh dengan sikap yang berada disekitarnya.
Allahu a’lam.











Referensi
Salahuddin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan.Bandung; Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar