Selasa, 23 Desember 2014

Rangga Warsita



Rangga Warsita
Raden Ngabehi Rangga Warsita (alternatif: Ronggowarsito; lahir di SurakartaJawa Tengah15 Maret 1802 – meninggal di SurakartaJawa Tengah24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.
Riwayat Masa Muda
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan.
Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.
Puncak Kejayaan Karier
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Misteri Kematian
Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro. Konon, sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.
Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan TrucukKabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.
Ranggawarsita dan Zaman Edan
Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.

yang terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.

Selasa, 16 Desember 2014

Asal Usul (KH. Syekh Asnawi Caringin)


KH. ASNAWI CARINGIN BANTEN
KH.Asnawi lahir di Kampung caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama  Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah. Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim Kh.Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam Agama Islam. Di mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syech Nawawi Al Bantani. Kecerdasan yang di miliki beliau dengam mudah mampu menyerap berbagai disiplin ilmu yang telah diberikan gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari gurunya maka Syech Nawawi Tanara Banten menyuruh muridnya Kh.Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Allah.
Sekembalinya dari Mekkah Kh.Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah , karena ketinggian ilmu yang dimiliki nama Kh.Asnawi mulai ramai dikenal orang dan menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat Banten. Situasi Tanah air yang masih di kuasai Penjajah Belanda dan rusaknya moral masyarakat pada waktu membuat Kh.Asnawi sering mendapat ancaman dari pihak-pihak yang merasa kebebasannya terusik.  Banten yang terkenal dengan Jawara-jawaranya yang memiliki ilmu Kanuragan  dan dahulu terkenal sangat sadis dapat di taklukkan berkat kegigihan dan perjuangan Kh.Asnawi . Beliau juga terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat di segani  oleh kaum Penjajah Belanda .Kh.Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti Penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya Kh.Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan  ke Cianjur  oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda , Apa yang dilakukan Kh.Asnawi   mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama  lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.
Selama dipengasingan Kh.Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Al-quran dan Tarekat kepada masyarakat  sekitar dan  setelah dirasa aman Kh.Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Salapiah Caringin sekitar tahun 1884, Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi. Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan  yang dibawa oleh Kh.Asnawi ke Caringin, dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya Kh.Asnawi berdo’a memohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa Kh.Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.
Menurut masyarakat sekitar pernah suatu ketika Masjid tersebut diganti gentingnya, karena mereka berfikir sudah lama tidak diganti. Namun Masjid tersebut bocor. Kemudian masyarakat memutuskan untuk diganti ke semula.

Tahun 1937 Kh.Asnawi berpulang kerahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri ( Hj.Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah ) dan di maqomkan di Masjid Salfiah Caringin , hingga kini Masjid Salafiah  Caringin dan maqom beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i’tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i’tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut .
Wallohu a’lam 


@jamilatulafiah

Selasa, 18 November 2014

Pragmatisme Dalam Perjalanan Mencari Jati Diri



Jamilatul Afiah
2227130758
PGSD 3 D/02
FKIP
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa


Pragmatisme Dalam Perjalanan Mencari Jati Diri

Aliran filsafat pendidikan pragmatisme memiliki konsep bahwa manusia mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan potensi yang bersifat kreatif dan dinamis, manusia mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya. Pendidikan sebagai tempat yang paling efektif dalam melaksanakan proses. pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat manusia sebagai manusia yang berkembang. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi sehingga akal dan kecerdasan manusia dapat difungsikan dan berkembang dengan baik. Dalam hal ini, aliran pendidikan pragmatisme ingin membentuk manusia yang dihasilkan dari pendidikan sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.


Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli sekitar abad 19 hingga awal 20. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empiris inggris, yang berpendapat bahwa manusia mengetahui apa yang manusia alami, suatu teori dikatakan benar jika berfungsi praktis bagi kehidupan manusia. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931).
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130).
Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
Maksudnya adalah manusia dapat mengetahui sesuatu hal dengan apa yang mereka alami melalui sebuah pengalaman. Dan pastinya pengalaman serta perjalanan hidup manusia sudah ditakdirkan berbeda walaupun sebagian kecil ada yang sama tetapi tidak begitu sama persis. Dengan begitu, melalui pengalaman manusia dapat mengetahui apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah dilakukan. Bahkan ada peribahasa yang mengatakan bahwa “Eksperience Is The Best Teacher” yang artinya pengalaman adalah guru terbaik. Dengan pengalaman, kita dapat mengetahui sesuatu yang tadinya kita tidak mengetahui menjadi tahu dengan fakta atau nyata, karena fakta adalah hal yang sudah benar-benat terjadi dan terbukti.
Mungkin kita sudah tahu bahwa tidak hanya pengalaman saja, bahkan semua perilaku yang telah dilakukan akan mengakibatkan dan memiliki dampak negatif dan positif, mungkin kekecewaan, penyesalan, rasa senang, terharu, dan sebagainya.
Pada zaman sekarang dapat dilihat dari sikap dan perilaku remaja saat ini. Tidak dapat dipungkiri perilaku dan sikap tersebut akibat dari perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah berkembang sangat pesat, lingkungan, teman sebaya atau teman bermainpun sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak atau remaja.
Saat ini banyak sekali perilaku yang sebenarnya tidak layak dilakukan oleh para remaja yang usianya masih dibangku sekolah. Akibat dari pergaulan, mereka rela melakukan apa saja asalkan bisa membuat mereka senang. Pada masa ini dapat dikatakan masa-masa ingin tahu. Berawal dari penasaran akhirnya bisa saja mereka mencari tahu dan melakukannya sehingga dampak dan akibatnya meraka harus menanggung sendiri.
Saat ini banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja. Misalnya menggunakan narkoba, tawuran, seks bebas, dan sebagainya. Bahkan berdasarkan bahan bacaan yang telah saya baca terkutip bahwa “apabila tidak melakukan hal tersebut Tidak Gaul”. Bagi anak atau remaja yang terkumpul dalam satu komunitas tersebut jika kurang pengawasan orang tua, guru, keluarga terdekat atau teman sebaya yang mengerti akan bahayanya perilaku tersebut bagi dirinya, maka ia akan terpancing dalam ucapan tersebut. Bukan itu saja yang menjadi bahan pembicaraan saat ini, dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat banyak sekali contoh atau fakta yang terjadi, misalnya tidak hanya remaja bahkan anak yang berusia sekolah pun dapat dengan mudah meniru gaya berpakaian ataupun gaya berbicara orang yang ia kagumi. Lebih-lebih yang mereka kagumi itu membawa dampak positif nantinya yang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan pembelajaran dari keluarga sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Yang menjadi bahan pembicaraan adalah apabila dari hal tersebut berdampak negatif. Misalnya, Pertama; dalam berpakaian tidak sesuai dengan yang seharusnya (dalam agama islam berpakaian harus tertutup, tidak transparan, dan tidak membentuk anggota tubuh). Kedua; berbicara, remaja atau anak yang berusia sekolah sangat dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, anak dapat dengan mudah menyerap apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Misalnya anak mendengar satu kata yang baru ia dengar dan penasaran dengan apa makna kata tersebut, karena ia pikir tidak mau “ketinggalan zaman” maka ia mencari tahu dan menggunakan kata tersebut.  
Perilaku tersebut sangat ber- pengaruh terhadap sikap atau moral, dan nilai, yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini, yang paling berperan demi kebaikan anak tersebut adalah orang tua dengan cara memperbaiki sikap, memberi contoh yang selayaknya, memberikan motivasi- motivasi yang membuatnya sadar akan kebaikan untuk dirinya, dan apabila tetap saja tidak bisa diperbaiki sikapnya kita bisa menunjukan dan memberi contoh seseorang yang telah rusak akibat perilaku yang tidak baik tersebut.
Semua orang pasti tidak akan ada yang ingin merusak dirinya apalagi secara disengaja, kecuali adanya hal yang membuat dirinya merasa terpaksa melakukan hal yang negatif  tersebut. Tetapi semua itu bisa dikendalikan melalui keyakinan serta iman kita bahwa bukan hal yang negatif yang bisa membuat dirinya merasa nyaman. Dan apabila ingin memperbaiki diri bisa dirubah melalui teman serta lingkungan yang baik.
Lingkungan dan pendidikan sangat mempengaruhi terhadap perkembangan serta sikap anak. Apabila lingkungan baik maka sikap dan perilaku anak tersebut secara spontan akan mengikuti teman sebayanya melalui kegiatan yang positif, apalagi seorang anak yang masih dalam usia dini atau usia sekolah yang mendapat pendidikan yang baik dan mendapat pengalaman atau kegiatan yang baik karena dalam perkembangannya mereka masih mengikut- ikuti teman sebayanya. Dengan begitu dapat dengan mudah jika kita menanamkan sikap dan perilaku yang positif pada masa ini.
Maka sebaiknya yang digunakan dalam pendidikan demi tercapainya lulusan yang baik dan anak memiliki kepribadian atau jati diri yang baik maka dengan metode disiplin, dengan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode pendidikan karena merupaka suatu kekuatan yang datang dari luar, dan didasari oleh suatu asumsi bahwa ada tujuan yang baik dan benar secara objektif, dan si anak dipaksa untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan kemauan dan minat anak, serta gurulah yang menentukan segala- galanya. Guru memaksakan bahan pelajaran kepada anak, dan guru pulalah yang berpikir untuk anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak memiliki perhatian yang spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari dalam diri anak sendiri. Anak akan belajar apabila ia memiliki minat dari antisipasi terhadap suatu masalah untuk dipelajari. Anak tidak akan memiliki dorongan untuk belajar matematika seandainya ia tidak merasakan suatu masalah dimana ia tidak mengetahiunya. Disiplin itu memang muncul dari dalam diri anak, namun dituntut suatu aktivitas dari anak yang lainnya, dalam usaha mencapai tujuan bersama. Dalam usaha belajar tersebut dibutuhkan suatu kerja sama dengan yang lainnya. Anak dalam kelas harus merupakan suatu kelompok yang merasakan bersama terhadap suatu masalah, dan mereka secara bersama bekjerja secara sama-sama dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.
Dan dengan lingkungan yang baik, tidak menutup kemungkinan bahwa sikap anak tidak akan jauh dengan sikap yang berada disekitarnya.
Allahu a’lam.











Referensi
Salahuddin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan.Bandung; Pustaka Setia

Aliran Pragmatisme



ALIRAN PRAGMATISME

Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan. Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931).
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130).
Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.

Filsafat Pragmatis Pendidikan 
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dengan Renaissance yakni suatu gerakan atau usaha yang berkisar antara tahun 1400-1600 M untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi, yang kemudian juga berkembang ke masa Aufklarung (pencerahan). Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang cuma mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke  aliran Empirisme.
Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda yang lebih memfokuskan pada bahasan mengenai segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya. Aliran-aliran tersebut yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Sebagai aliran filsafat, pragmatisme membahas hal-hal yang bersifat riil, nyata, konkrit, praktis, dan langsung dapat dirasakan hasilnya atau kegunaannya. Seperti yang telah disinggung di atas, pragmatime sebagai paham filsafat tidak terlepas dari tokoh seperti Charles Sanders Peierce (1839-1914), yang dianggap sebagai perintis, dan William James (1842-1910) sebagai tokoh resmi pendirinya, yang terkenal sebagai arsitek eksisnya pragmatisme. Namun, juga berkat John Dewey (1859-1952) pragmatisme semakin kokoh dan terkenal karena ia merupakan tokoh ketiga yang menjadi corong pragmatisme dalam menyebarkan paham-pahamnya.
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Pragmatisme merupakan filsafat yang mencerminkan secara kuat kehidupan Amerika, ia berusaha menengahi ide filsafat yang telah berkembang sebelumnya, yaitu antara empirisme dan idealisme dan berusaha menggabungkan hal yang sangat berarti dari keduanya. Bagi pragmatisme seperti yang dikatakan James, yang dbutuhkan manusia sekarang bukan hal-hal yang berupa metafisika, tetapi hal-hal yang langsung dapat dirasakan kemanfaatannya bagi manusia (kegunaan praktis. Itulah makna sesungguhnya dari pragmatis.
Jadi, inti dari ajaran pragmatisme adalah segala sesuatu akan bernilai benar jika sesuatu itu dapat direalisasikan dan dirasakan langsung keberadaan maupun manfaatnya oleh manusia.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa ada tiga tokoh besar pragmatisme. Meskipun akar pemikiran mereka sama, namun masing-masing mereka memiliki kecenderungan tesendiri.
1.       Charles Pierce (1839-1914)
Pragmatisme Pierce lebih dikenal sebagai eksperimental, maksudnya segala sesuatu yang bersifat praktis hanya dapat dibuktikan melalui penelitian eksperimental, atau dijelaskan secata eksperimental. Dalam hal ini Peirce lebih menekankan pada pendekatan bahasa dan matematika.
Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.
Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme antara lain sebagai berikut: 1) Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini manusia. 2) Bahwa apa yang kita namakan "universal" adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari: “Community of knowers" 3) Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas).
Dari uraian di atas, nampaknya pragmatisme Peirce juga lebih menekankan pada teori arti. Ia berusaha mengemukakan arti sesuatu, yang mana sesuatu itu praktis jika bisa diuji dengan pengalaman, dan berusaha mengungkapkan sesuatu dengan penjelasan arti (bahasa) dan matematika.

2.       William James (1842-1910)
Pragmatisme James disebut juga praktikalisme, yang dikatakan praktis adalah yang dapat mempengaruhi perilaku manusia. Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme , sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.

3.       John Dewey(1859-1952)
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini, yang pada akhirnya sangat berdampak pada proses pendidikan. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Merasakan adanya masalah
  2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
  3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
  4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
    Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Pragmatisme Dewey juga biasa disebut instrumentalisme (pengalaman). Pengalaman manusia membentuk aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Kita tidak hanya berpikir biasa, melainkan berpikir reflektif. Berpikir reflektif akan terjadi jika kita mengahdapi masalah. Dan untuk memecahkan masalah itulah manusia memerlukan akal. Pada akhirnya, terjadilah proses pemecahan maslaah seperti yang telah dinyatakan di atas.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.

Nilai
1.      Ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai yang absolut.
2.      Peran peserta didik dan pendidik
Peserta didik adalah organisme yang rumit yang mampu tumbuh.
Pendidik mengawasi dan membim-bing pengalaman belajar, tanpa ter-lampau banyak mencampuri urusan minat kebutuhan peserta didik.
Pragmatisme melakukan pendekatan terhadap nilai secara empiris berdasarkan pengalaman nyata sehari-hari dalam kehidupan. Menurut pragmatisme nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan, masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris. Nilai moral maupun etis akan dilihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi, pendekatan terhadapa nilai aslaah cara empiris berdasarkan pengalamna-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap nilai-nilai yang tidak empiris, seperti nilai supranatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama.
            Menurut pragmatisme kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak memihak, dan secara ilmiah memiliki, nilai-nilai yang tampaknya memungkinkan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Nilai-nilai itu tidak akan dipaksakan dengan kekuatan apapun kepada kita untuk diterimanya. Nilai-nilai itu akan disetujui setelah akan diadakan diskusi secara terbuka yang didasarkan atas bukti-bukti empiris dan objektif.
            Nilai lahir dari keinginan, dorongan dan perasaaan serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak manusia sebagai kesatuan antara faktor-faktor biologis dan faktor sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilaku manusia, sebagai suatu pengetahuan, dan sebagai suatu ide. Suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila mengandung kebaikan, berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian diri dalam kehidupan pada suatu lingkungan tertentu.


Metode
            Dalam menentukian kurikulum, setiap pelajaran tidak boleh terpisah, harus merupakan suatu kesatuan. Pengalaman sekolah dan diluar sekolah harus dipadukan, sehingga segalanya merupakan suatu kebetulan atau kesatuan. Carannya yaitu dengan mengambil suatu masalah menjadi pusat segala kegiatan. Masalah yang menjadi pusat kegiatan sebaiknya adalah hal-hal yang menarik perhatian anak, harus sesuai dengan minat anak. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam pelajaran proyek. Metode tersebut dilakukan dalam proses belajar mengajar, Dewey (Price, 1962 : 466) mengemukakan sebagai berikut :
            “ The metode education, Dewey argues, ought to be one of disciplin, but not outhority. Authority is precisely the process of applying pressure to compel tehe child to achieve. What be neither desires not foresees percistent effort to learen, and it cannot occur unless the student has a desire of, and anticipation of thing to be learn”.
Metode yang sebaiknya digunakan dalam pendidikan adalah metode disiplin, dengan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode pendidikan karena merupaka suatu kekuatn yang datang dari luar, dan didasari oleh suatu asumsi bahwa ada tujuan yang baik dan benar secara objektif, dan si anak dipaksa untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan kemauan dan minat anak, serta gurulah yang menentukan segala-galanya. Guru memaksakan bahan pelajaran kepada anak, dan guru pulalaah yang berpikir untuk anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak memiliki perhatian yang spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari dalam diri anak sendiri. Anak akan belajar apabila ia memiliki minat dari antisipasi terhadap suatu masalah untuk dipelajari. Anak tidak akan memiliki dorongan untuk belajar matematika seandainya ia tidak merasakan suatu masalah di mana ia tidak mengetahiunya. Disiplin itu memang muncul dari dalam diri anak, namun dituntut suatu aktivitas dari anak yang lainnya, dalam usaha mencapai tujuan bersama. Dalam usaha belajar tersebut dibutuhkan suatu kerja sama dengan yang lainnya. Anak dalam kelas harus merupakan suatu kelompok yang merasakan bersama terhadap   
Suatu masalah, dan mereka secara bersama bekjerja secara sama-sama dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.
Guru disekolah harus merupakan suatu petunjuk jalan seta pengamat tingkah laku anak, untuk mengetahui apakah yang menjadi minat perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan masalah apa yang akan dijadikan pusat perhatian anak. Yang harus dikerjakan guru dalam hal disiplin adalah :
“First all compulsion should be award… secondly, the teacher ought to do whatever is necessary to make a student feel a problem in not knowing the subjek matter at hand. Thirdly, in order to arous interest, the teacher ought familiarize himself throughly with capacities and interest, of each student. Fourthly, the teacher ought to creat a situation in the classroom in which every person present, including himself, cooperates with the others in the process of learning” (Kingley Price, 1962 : 467)

Dalam proses belajar mengajar, ada beberapa saran bagi guru yang harus diperhatikan, terutama dalam meghadapi siswa di kelas, yaitu :
1.      Guru tidak boleh memaksakan suatu idea atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan siswa.
2.      Guru hendaknya menciptakan suatu situasi yang menyebabkan siswa akan merasakan adanya suatu amasalah yang ia hadapi, sehingga timbullah minat untuk memecahkan masalah tersebut.
3.      Untuk membangkitkan minat anak, hendaklah guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing siswa.
4.      Guru harus dapat menciptakan situasi yang menimbulkan kerja sama dalam belajar, anatara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru, begitu pula anatara guru dengan guru.
Jadi, tugas guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai fasilisator, memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang ada pada dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja. Anak harus dibangkitkan kecerdasannya, agar pada diri anak timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur, dan akhirnya dpat berpikir ilmiah dan logis, yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.
Power (1982) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan sebagai berikut :
1.      Tujuan pendidikan
Member pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup social dan pribadi.
2.      Kedudukan siswa
Suatu organisme yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
3.      Kurikulum
Berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dpat menentukan kurikulum. Menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan. Menurut pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya. Bahan pelajaran harus mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan dan harus ada hubungannya dengan materi pelajaran. Pendididkan dalam setiap fase atau tingkatan harus memiliki criteria untuk memanfaatkan kehidupan masyarakat. Bahan pelajaran apabila dikaitkan dengan demokrasi dalam pendididkan, adalah bahwa bahan pelajaran terdiri dari atas seperangkat tindakan untuk memberi isi pada kehidupan sosial yang ada pada waktu itu. Dewey tidak menyetujui pada bahan pelajaran yang telah disampaikan terlebih dahulu. Di sekolah lama terdapat tujuan pendididkan untuk kepentingan masyarakat, namun bahan yang diberikan guru terlalu tinggi, karena diambilkan dari masyarakat dewasa, yang berarti materi tersebut telah disampaikan dan dipaksa kepada anak untuk diterima. Sekolah yang baik adalah yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh semua jenis belajar dan bahan paleajaran yang membantu murid pemuda dan orang dewasa untuk berkembang.

4.      Metode
Metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja)
5.      Peran guru
Mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi  kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.

Penutup
Menurut filsafat pragmatisme ini pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar dan juga bukan suatu yang dari dalam dengan sendirinya. Pendidikan filsafat adalah pendidikan yang menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan akan membosankan seperti dalam pendidikan sekolah yang tradisonal. Siswa harus diberikan kebebasan menyalurkan pendapat, tidak hanya  menerima pengetahuan dari guru saja, melainkan guru menciptakan suasana agar siswa selalu haus akan pengetahuan. Pada filsafat pragmatisme dalam pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi didalam masyarakat.

Soemargono, Soejono.2004.Pengantar Filsafat.Yogyakarta;Tiara Wacana Yogya