Selasa, 23 Desember 2014

Rangga Warsita



Rangga Warsita
Raden Ngabehi Rangga Warsita (alternatif: Ronggowarsito; lahir di SurakartaJawa Tengah15 Maret 1802 – meninggal di SurakartaJawa Tengah24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.
Riwayat Masa Muda
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan.
Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.
Puncak Kejayaan Karier
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Misteri Kematian
Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro. Konon, sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.
Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan TrucukKabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.
Ranggawarsita dan Zaman Edan
Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.

yang terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.

Selasa, 16 Desember 2014

Asal Usul (KH. Syekh Asnawi Caringin)


KH. ASNAWI CARINGIN BANTEN
KH.Asnawi lahir di Kampung caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama  Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah. Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim Kh.Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam Agama Islam. Di mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syech Nawawi Al Bantani. Kecerdasan yang di miliki beliau dengam mudah mampu menyerap berbagai disiplin ilmu yang telah diberikan gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari gurunya maka Syech Nawawi Tanara Banten menyuruh muridnya Kh.Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Allah.
Sekembalinya dari Mekkah Kh.Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah , karena ketinggian ilmu yang dimiliki nama Kh.Asnawi mulai ramai dikenal orang dan menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat Banten. Situasi Tanah air yang masih di kuasai Penjajah Belanda dan rusaknya moral masyarakat pada waktu membuat Kh.Asnawi sering mendapat ancaman dari pihak-pihak yang merasa kebebasannya terusik.  Banten yang terkenal dengan Jawara-jawaranya yang memiliki ilmu Kanuragan  dan dahulu terkenal sangat sadis dapat di taklukkan berkat kegigihan dan perjuangan Kh.Asnawi . Beliau juga terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat di segani  oleh kaum Penjajah Belanda .Kh.Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti Penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya Kh.Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan  ke Cianjur  oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda , Apa yang dilakukan Kh.Asnawi   mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama  lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.
Selama dipengasingan Kh.Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Al-quran dan Tarekat kepada masyarakat  sekitar dan  setelah dirasa aman Kh.Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Salapiah Caringin sekitar tahun 1884, Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi. Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan  yang dibawa oleh Kh.Asnawi ke Caringin, dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya Kh.Asnawi berdo’a memohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa Kh.Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.
Menurut masyarakat sekitar pernah suatu ketika Masjid tersebut diganti gentingnya, karena mereka berfikir sudah lama tidak diganti. Namun Masjid tersebut bocor. Kemudian masyarakat memutuskan untuk diganti ke semula.

Tahun 1937 Kh.Asnawi berpulang kerahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri ( Hj.Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah ) dan di maqomkan di Masjid Salfiah Caringin , hingga kini Masjid Salafiah  Caringin dan maqom beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i’tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i’tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut .
Wallohu a’lam 


@jamilatulafiah