BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persepsi masyarakat awam tentang
anak berkelainan fungsi anggota tubuh (anak tunadaksa) sebagai salah satu
jenis anak berkelainan dalam konteks Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan
Khusus) masih dipermasalahkan. Munculnya permasalahan tersebut terkait dengan asumsi bahwa anak tunadaksa (kehialangan salah satu atau
lebih fungsianggota tubuh) pada kenyataannya banyak yang tidak mengalami
kesulitan untuk menititugas perkembangannya, tanpa harus masuk sekolah khusus
untuk anak tunadaksa (khususnya
tunadaksa ringan).
Secara umum dikenal dua macam anak
tunadaksa. Pertama, anak tuna daksa yang disebabkan karena penyakit polio, yang
mengakibatkan terganggunya salah satu fungsi anggota badan. Anak tunadaksa kelompok ini sering disebut orthopedically
handicapped, tidak
mengalami hambatan perkembangan kecerdasannya. Oleh karena itu mereka
dapat belajar mengikuti program sekolah biasa. Kedua, anak tunadaksa yang disebabkan oleh gangguan neurologis. Anak tuna
daksa kelompok ini mengalami gangguan gerak dan kebanyakan dari mereka
mengalami ganguan
kecerdasan dan sering disebut neurologically handicapped atau secara khusus mereka disebut penyandang cerebral palsy. Anak tuna daksa kelompok ini membutuhkan layanan pendidikan luar biasa. Anak yang
mengalami gangguan gerakan pada taraf sedang dan berat, umumnya dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB), sedangkan anak yang
mengalami gangguan gerakan dalam taraf ringan banyak ditemukan sekolah ±
sekolah umum. Namun jika mereka tidak mendapatkan pelayanan khusus dapat menyebabkan terjadinya kesulitan belajar yang serius.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari anak Tuna Daksa?
2. Bagaimana
Klasifikasi dari anak Tuna Daksa?
3. Apa penyebab
anak Tuna Daksa?
4. Bagaimana
perkembangan kognitif dari anak Tuna Daksa?
5. Bagaimana
perkembangan sosial, emosi, dan kepribadian anak Tuna Daksa?
6. Bagaimana
Karakteristik dan permasalahan yang dihadapi dari anak Tuna Daksa?
7. Apasaja alat-alat yang digunakan Tunadaksa ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
pengertian dari anak Tuna Daksa.
2. Menguraikan
klasifikasi anak Tuna Daksa.
3. Mengetahui
penyebab anak Tuna Daksa.
4. Menjelaskan
perkembangan kognitif anak Tuna Daksa.
5. Menjelaskan
perkembangan sosial, emosi, dan kepribadian anak Tuna Daksa.
6. Menjelaskan
karakteristik dan permasalahan yang dihadapi anak Tuna Daksa.
7. Mengetahui alat-alat yang digunakan Tunadaksa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Anak Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak yang
mempunyai kelainan ortopedik atau salah satu bentuk berupa gangguan dari fungsi
normal pada tulang, otot, dan persendian yang mungkin karena bawaan sejak
lahir, penyakit atau kecelakaan, sehingga apabila mau bergerak atau berjalan
memerlukan alat bantu.
Didalam
Wikipedia, pengertian Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan
struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan,
termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat
gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam
melakukan aktivitas fisiktetap masih
dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik
dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan
total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
2.2
Klasifikasi Anak Tuna Daksa
Menurut
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, pada dasarnya kelainan pada anak tunadaksa
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem
serebral ( Cerebral System), dan (2) kelainan
pada sistem otot dan rangka ( Musculus Skeletal System)
1. Kelainan
pada sistem serebral ( cerebral system disorders)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelainan sistem
serebral ( cerebral) didasarkan pada letak
penyebab kelahiran yang terletak di dalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum
tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf pusat mengakibatkan bentuk
kelainan yang krusial karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat
dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide,
pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok
kerusakan bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy dapat
diklasifikasikan menurut:
a.
Penggolongan menurut derajat kecacatan
Menurut
derajat kecacatan, cerebal palsy dapat
digolongkan atas: golongan ringan, golongan sedang, dan golongan berat.
ü Golongan
ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara
tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat
hidup bersama-sama (dalam hal ini mengikuti aktivitas sehari-hari) anak normal
lainnya. Kelainan yang dimiliki oleh kelompok ini tidak mengganggu kehidupan
dan pendidikannya.
ü Golongan
sedang adalah mereka yang membutuhkan treatment atau
latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri.
Golongan ini memerlukan alat-alat khusus untuk membantu gerakannya,
seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk atau
tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus,
anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri.
ü Golongan
berat adalah mereka yang memiliki cerebral palsy.
Golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulansi, bicara, dan
menolong dirinya sendiri. Mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-tengah
masyarakat.
b.
Penggolongan menurut topografi
Dilihat dari
topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebral Palsy dapat digolongkan menjadi enam
golongan, yaitu:
ü Monoplegia
Hanya satu anggota gerak yang lumpuh, misalnya kaki kiri.
Sedangkan kaki kanan dan kedua tangannya normal.
Sedangkan kaki kanan dan kedua tangannya normal.
ü Hemiplegia: Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama,
misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
ü Paraplegia: Lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
ü Diplegia: Lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri (paraplegia).
ü Triplegia
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan
kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan
kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.
ü Quadriplegia: Anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggota
geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.
geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.
c.
Penggolongan menurut fisiologi
Dilihat dari fisiologi, yaitu segi
gerak, letak kelainan terdapat di
otak dan fungsi geraknya (motorik), maka anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
otak dan fungsi geraknya (motorik), maka anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
Ø Spastik
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul ketika akan bergerak sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional, kekakuan atau kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara mereka ada yang normal bahkan ada yang di atas normal.
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul ketika akan bergerak sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional, kekakuan atau kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara mereka ada yang normal bahkan ada yang di atas normal.
Ø Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua gerakan terjadi di luar kontrol dan koordinasi gerak.
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua gerakan terjadi di luar kontrol dan koordinasi gerak.
Ø Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seperti kehilangan keseimbangan. Kekakuan hanya dapat terlihat dengan jelas saat berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya, anak tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung mulut.
Ciri khas tipe ini adalah seperti kehilangan keseimbangan. Kekakuan hanya dapat terlihat dengan jelas saat berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya, anak tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung mulut.
Ø Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tungkai, dan bibir.
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tungkai, dan bibir.
Ø Rigid
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot tidak seperti pada tipe spastik, dimana gerakannya tampak tidak ada keluwesan.
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot tidak seperti pada tipe spastik, dimana gerakannya tampak tidak ada keluwesan.
Ø Tipecampuran
Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun lebih jenis gejala CP sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu tipe CP.
Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun lebih jenis gejala CP sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu tipe CP.
2. Kelainan
pada sistem otot dan rangka ( musculus scelatel system)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelompok sistem
otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang
mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang.
Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka antara lain meliputi:
a. Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia dua tahun sampai enam tahun.
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia dua tahun sampai enam tahun.
b. Muscle Dystrophy
Anak
mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita muscle dystrophysifatnya progresif, semakin hari semakin
parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan saja
atau kedua kaki saja, atau pada kedua tangan dan kaki. Penyebab
terjadinya muscle distrophy belum
diketahui secara pasti. Gejala anak menderita muscle dystrophy baru
kelihatan setelah anak berusia tiga tahun, yaitu gerakan-gerakan yang lambat,
di mana semakin hari keadaannya semakin mundur. Selain itu, jika berjalan
sering terjatuh. Hal ini kemudian mengakibatkan anak tidak mampu berdiri dengan
kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda
2.3
Penyebab Tuna Daksa
Ada beberapa
macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak sehingga menjadi
tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan
sumsum tulang belakang, serta pada sistem musculus skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa, dan
masing-masing timbulnya kerusakan berbeda-beda. Dilihat dari waktu terjadinya,
kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah
lahir.
1. Sebelum
lahir (fase prenatal)
Kerusakan terjadi
pada saat bayi saat masih dalam kandungan
disebabkan:
disebabkan:
a. Infeksi atau
penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang
sedang dikandungnya.
b. Kelainan
kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusar tertekan, sehingga
merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
c. Bayi dalam
kandungan terkena radiasi yang langsung mempengaruhi sistem syarat pusat
sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu yang
sedang mengandung mengalami trauma yang dapat mengakibatkan terganggunya
pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya, ibu jatuh dan perutnya terbentur
dengan cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi, maka dapat
merusak sistem syaraf pusat.
2. Saat
kelahiran (fase natal/perinatal)
Hal-hal yang
dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain:
a. Proses
kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang yang kecil pada ibu sehingga
bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini kemudian menyebabkan terganggunya
sistem metabolisme dalam otak bayi sehingga jaringan syaraf pusat mengalami
kerusakan.
b. Pemakaian
alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan
sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
c. Pemakaian
anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan
menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan
otak bayi sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.
3. Setelah
proses kelahiran (fase post natal)
Fase setelah
kelahiran adalah masa di mana bayi mulai dilahirkan sampai masa perkembangan
otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima tahun. Hal-hal yang dapat
menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a.
Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
b.
Infeksi penyakit yang menyerang
otak.
2.4
Perkembangan Kognitif Anak Tuna
Daksa
Proses
perkembangan kognitif banyak ditentukan dari pengalaman-pengalaman individu
sebagai hasil belajar. Proses perkembangan kognitif akan berjalan dengan baik
apabila ada dukungan atau dorongan dari lingkungan. Seperti dikatakan Piaget
bahwa setiap individu memiliki struktur kognitif dasar yang disebut schema
(misalnya kemampuan untuk melakukan gerakan refleks, seperti menghisap,
merangkak, dan gerakan refleks lainnya).schema ini akan berkembang melalui
belajar. Proses adaptasi yang didahulukan dengan adanya persepsi.
Anak tuna
daksa yang mengalami kerusakan alat tubuh, tidak ada masalah secara fisiologis
dalam struktur kognitifnya. Masalah terjadi ketika anak tuna daksa mengalami
hambatan dan mobilitas. Anak mengalami hambatan dalam melakukan dan
mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga sedikit banyak masalah ini
mengakibatkan hambatan dalam perkembangan struktur kognitif anak tuna
daksa. Dalam pengukuran intelegensi pada anak tuna daksa, sering ditemukan angka
intelegensi yang cukup tinggi. Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada
anak-anak tuna daksa ini belum dapat difungsikan secara optimal. Hambatan
mobilitas, masalah emosi, kepribadian akan mempengaruhi anak tuna daksa dalam
melakukan eksplorasi keluar.
2.5
Perkembangan Sosial, Emosi, dan
Kepribadian Anak Tuna Daksa
1.
Perkembangan Sosial Anak Tuna Daksa
Faktor utama terjadinya hambatan sosial ini bersumber pada sikap keluarga,
teman-teman dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim dan Sugiarmin (1996) menjelaskan
bahwa sikap, perhatian keluarga dan lingkungan terhadap anak tuna daksa dapat
mendorong yang bersangkutan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi.
Sebaiknya sikap-sikap positif yang ditunjukkan orang tua maupun teman-temannya
akan lebih membantu anak dalam penerimaan diri terhadap kenyataan yang
dihadapi, sehingga masalah-masalah perkembangan sosial dapat diatasi.
2.
Perkembangan Emosi Anak Tuna Daksa
Ketunaan yang ada pada anak tuna daksa secara khusus tidak akan menghambat
dalam perkembangan emosi pada anak tuna daksa. Hambatan ini dialami setelah
anak mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Seringnya ditolak, seringnya
mengalami kegagalan ditambah lingkungan orangtua yang tidak menguntungkan,
menyebabkan anak tuna daksa sering nampak muram, sedih dan jarang menampakkan
rasa senang.
3.
Perkembangan Kepribadian Anak Tuna
Daksa
Perkembangan
kepribadian anak banyak ditemukan oleh pengalaman usia dini, keadaan fisik,
kesehatan, pemberian cap dari orang lain, intelegensi, pola asuh orangtua dan
sikap masyarakat. Pada usia dini anak tuna daksa mengalami gangguan dalam
fungsi mobilitas, gangguan pada waktu merangkak, berguling, berdiri dan
berjalan. Kondisi ini apabila didukung dengan sikap yang negative dari keluarga
maupun masyarakat akan menjadikan pengalaman di usia dini yang sangat
menyakitkan, dan dapat menjadikan pengalaman-pengalaman yang traumatis pada
anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tin Suharmini (1988) dengan
menggunakan tes grafis, ternyata ditemukan sebagian sebagian besar anak tuna
daksa mempunyai perasaan yang rendah diri (minder), kurang percaya diri,
kemasakan sosialnya kurang, emosional, menentang lingkungan, tertutup,
mengalami kekecewaan hidup, dan kompensensi.
2.6
Karakteristik dan Permasalahan yang
dihadapi Anak Tuna Daksa
Banyak jenis dan variasi anak tuna
daksa, sehingga untuk mengidentifikasi karakteristiknya diperlukan pembahasan
yang sangat luas. Berdasarkan berbagai sumber ditemukan beberapa karakteristik
umum bagi anak tuna daksa, diantara lain sebagai berikut :
1. Karakteristik
Kepribadian
ü Mereka yang
cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh pengalaman, yang demikian ini tidak
menimbulkan frustasi.
ü Tidak ada
hubungan antara pribadi yang tertutup dengan lamanya kelainan fisik yang
diderita.
ü Adanya
kelainan fisik tidak memperngaruhi kepribadian atau ketidak mampuan individu
dalam menyesuaikan diri.
ü Anak
cerebal-pakcy dan polio cenderung memiliki rasa takut daripada yang mengalami
sakit jantung.
2. Karakteristik
Emosi-sosial
ü Kegiatan-kegiatan
jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh anak tuna daksa dapat berakibat
timbulnya problem emosi, perasaan dan dapat menimbulkanfrustasi yang berat.
ü Keadaan
tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka menyingkirkan diri dari keramaian.
ü Anak tuna
daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama anak-anak normal dalam suatu
permainan.
ü Akibat
kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi dengan
lingkunganya.
3. Karakteristik
Intelegensi
ü Tidak ada
hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, tapi ada beberapa
kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa kecerdasan individu bila
kecacatanya meningkat.
ü Hasil
penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata normal.
4. Karakteristik
Fisik
ü
Selain memiliki kecacatan tubuh, ada
kecenderungan mengalami gangguan-gangguan lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya
daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara dan sebagainya.
ü
Kemampuan motorik terbatas dan ini
dapat dikembangkan sampai pada batas-batas tertentu.
ü Adanya
berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak tuna daksa
memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun bisa saja terjadi salah
satunya tidak dimiliki.
Dari
karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dari
dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan posisi
siswa disekolah. Permasalahan tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa
masalah, yaitu:
Masalah yang dihadapi Anak
Tunadaksa
1. Masalah
kesulitan belajar
Terjadinya kelainan pada otak, sehingga fungsi fikirnya terganggu persepsi. Apalagi bagi anak tuna daksa yang
disertai dengan cacat-cacat lainya dapat menimbulkan komplikasi yang secara
otomatis dapat berpengaruh terhadap kemampuan menyerap materi yang diberikan.
2.
Masalah sosialisasi
Anak tunadaksa mengalami berbagai kesulitan dan
hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat terjadi
karena kelainan jasmani, sehingga mereka tidak diterima oleh teman-temannya,
diisilasi, dihina, dibenci, dan bahkan tidak disukai sama sekali kehadiranya
dan sebagainya.
3.
Masalah kepribadian
Masalah kepribadian dapat berwujud kurangnya ketahanan diri bahkan tidak
adanya kepercayaan diri, mudah tersinggung dan sebagainya.
4.
Masalah ketrampilan dan pekerjaan
Anak tunadaksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas, namun di lain pihak
bagi mereka yang memiliki kecerdasan yang normal ataupun yang kurang perlu
adanya pembinaan diri sehingga hidupnya tidak sepenuhnya menggantungkan diri
pada orang lain. Karena itu dengan modal kemampuan yang dimilikinya perlu
diberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk dapat mengembangkan lewat
latihan ketrampilan dan kerja yang sesuai dengan potensinya, sehingga setelah
selesai masa pendidikan mereka dapat menghidupi dirinya, tidak selalu
mengharapkan pertolongan oranglain. Di lain pihak dianggap perlu sekali adanya
kerja sama yang baik dengan perusahaan baik negeri maupun swasta untuk dapat
menampung mereka.
5.
Masalah latihan gerak
Kondisi anak tuna daksa yang sebagian besar mengalami
gangguan dalam gerak. Agar kelainanya itu tidak semakin parah dan dengan
harapan supaya kondisi fungsional dapat pulih ke posisi semula, dianggap perlu
adanya latihan yang sistematis dan berlanjut.misalnya terapi-fisik
(fisio-therapy), terapi-tari (dance-therapy), terapi-bermain (play-therapy),
dan terapi-okupasional (occupotional-therapy).
2.7 Alat-Alat Penderita Tunadaksa
1.
Alat Asesmen
Pada
umumnya anak tunadaksa mengalami gangguan perkembangan motorik dan mobilitas,
intelegensi, baik secara sebagian maupun secara keseluruhan. Bervariasinya
kondisi anak tunadaksa, menuntut adanya pengelolaan yang cermat dalam
mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Hal ini penting
dalam upaya menentukan apa yang dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan kemampuan dan keadaannya. Asesmen dilakukan pada anak
tunadaksa dilakukan untuk mengetahui keadaan postur tubuh, keseimbangan tubuh,
kekuatan otot, mobilitas, intelegensi, serta perabaan. Alat yang digunakan
untuk asesmen anak tunadaksa seperti: Finger Goniometer, Flexometer, Plastic
Goniometer, Reflex Hammer, Posture Evaluation Set, TPD Arsthesiometer, Gound
Rhytem Tibre Instrumen, Cabinet Geometric Insert, Color Sorting Box, dan Tactile
Board Set.
2.
Alat Latihan Fisik
Pada
umumnya anak tunadaksa mengalami hambatan dalam pindah diri (ambulasi), dan koordinasi/keseimbangan
tubuh. Agar anak tuna daksa dapat melakukan kegiatan hidup sehari-hari secara
mobil perlu latihan. Alat-alat yang dapat digunakan dapat berupa: Pulley
Weight, Kanavel Table, Squeez Ball, Restorator Hand, Restorator Leg, Treadmill
Jogger, Safety Walking Strap, Straight (tangga), Sand-Bag, Exercise Mat,
Incline Mat, Neuro Development Rolls, Height Adjustable Crowler, Floor Sitter,
Kursi CP, Individual Stand-in Table, Walking Paralel, Walker Khusus CP,
Vestibular Board, Balance Beam Set, Dynamic Body and Balance, Kolam Bola-bola,
Vibrator, Infra-Red Lamp (Infra Fill), Dual Speed Massager, Speed Training
Devices, Bola karet, Balok berganda, dan Balok titian
3.
Alat Bina Diri
Anak
tunadaksa mengalami hambatan dalam pindah diri (ambulasi), dan koordinasi/keseimbangan
tubuh. Keterbatasan atau hambatan tersebut mengakibatkan anak tunadaksa
mengalami kesulitan untuk merawat diri sendiri. Agar anak tuna daksa dapat
melakukan perawatan diri dan kegiatan hidup sehari-hari (activity of daily
living), maka perlu latihan. Alat-alat yang dapat digunakan dapat berupa:
Swivel Utensil, Dressing Frame Set, Lacing Shoes, dan Deluxe Mobile Commade.
4. Alat
Orthotic dan Prosthetic
Anak
tunadaksa mengalami hambatan dalam pindah diri (ambulasi), dan koordinasi/keseimbangan
tubuh, karena kondisi tubuh mengalami kelainan. Agar anak tuna daksa dapat
melakukan ambulasi dan kegiatan hidup sehari-hari (activity of daily living),
maka perlu alat bantu (orthotic dan prosthetic). Alat-alat yang dapat digunakan
meliputi: Cock-Up Resting Splint, Rigid Immobilitation Elbow Brace, Flexion
Extention, Back Splint, Night Splint, Denish Browans Splint, X Splint, O
Splint, Long Leg Brace Set, Ankle or Short Leg Brace, Original Thomas Collar,
Simple Cervical Brace, Corsett, Crutch (kruk), Clubfoot Walker Shoes, Thomas
Heel Shoes, Wheel Chair (Kursi Roda), Kaki Palsu Sebatas Lutut, Kaki Palsu
Sampai Paha.
5.
Alat Bantu Belajar/Akademik
Layanan
pendidikan untuk anak tunadaksa mencakup membaca, menulis, berhitung,
pengembangkan sikap, pengetahuan dan kreativitas. Akibat mengalami kelainan
pada motorik dan intelegensinya, maka anak tunadaksa mengalami kesulitan dalam
menguasai kemampuan membaca, menulis, berhitung. Untuk membantu penguasaan
kemampuan di bidang akademik, maka dibutuhkan layanan dan peralatan khusus.
Alat-alat yang dapat membantu mengembangkan kemampuan akademik pada anak
tunadaksa dapat berupa: Kartu Abjad, Kartu Kata, Kartu Kalimat, Torso Seluruh
Badan Geometri Sharpe, Menara Gelang, Menara Segitiga Menara Segiempat, Gelas
Rasa. Botol Aroma, Abacus dan Washer, Papan Pasak, Kotak Bilangan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa, pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa)
adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara
normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga
untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus. Seperti juga
kondisi ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau
tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal), saat lahir
(neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal).
kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang
terjadi sebelum bayi lahir atua ketika dalam kandungan, diantaranya dikarenakan
faktor genetik dan kerusakan pada system saraf pusat Sama seperti bentuk
kelainan atau ketuntasan yang lain, kelainan fungsi anggota tubuh atau
tunadaksa yang dialami seseorang memiliki konsekuensi atau akibat yang hampir
serupa, terutama pada aspek kejiwaan penderita, baik berefek langsung maupun
tidak langsung.
Dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa
(1985) paling tidak ada empat aspek yang turut mewarnai, yaitu sebagai berikut:
Kematangan, Pengalaman, Transmisi social dan Ekuilibrasi
DAFTAR
PUSTAKA
http://beredukasi.blogspot.com/2013/09/pengertian-dan-karekteristik-tuna-daksa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar